Kamis, 23 Januari 2014

PENDAHULUAN
Bila menganalisis berbagai perintah agama islam dengan seksama, maka dengan mudah kita dapat memperoleh prinsip yang berkaitan dengan piutang konsumtif. Adapun prinsip piutang konsumtif adalah Prinsip kemurnian, perjanjian, pembayaran dan bantuan yang timbul dari kenyataan bahwa mengambil suatu kredit tanpa suatu sebab yang shahih, ditolak oleh Rasulullah yang diriwayatkan berlindung dari utang maupun dosa. Aisyah berkata rasulullah SAW biasa berdoa dengan mengucapkan kata-kata “Yaa Allah, aku berlindung padamu dari dosa dan berutang”. Seseorang bertanya padanya “Ya Rasulullah, mengapa begitu sering engkau berlindung dari berutang?” Jawabnya “Bila orang berutang, dia berdusta, berbohong dan berjanji. Tetapi memungkiri janjinya” (HR. Bukhari)
Sedangkan dalam hawalah ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dan pengalihan penagihan hutang ini dibenarkan oleh syariah dan telah dipraktekkan oleh kaum Muslimin dari zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Dalam al-Qur’an kaum Muslimin diperintahkan untuk saling tolong menolong satu sama lain. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Firman Allah (QS.Al-Maidah 2) Akad hawalah merupakan suatu bentuk saling tolong menolong yang merupakan manifestasi dari semangat ayat tersebut Kemudian berdasarkan hadist Barangsiapa yang mempunyai hutang namun dia mempunyaipiutang pada orang lain yang mampu,kemudian dia memindahkan kewajiban membayar hutangnya kepadaorang lain yang mampu itu, maka orang yang mampu tersebut wajib menerima kewajiban itu. Nabi saw bersabda “Penundaan orang yang mampu (melunasi hutang) itu adalah zhalim, dan apabila seorang di antara kamu menyerahkan (kewajiban pembayaran hutangnya) kepada orang kaya, maka terimalah.Selanjutnya pembahasan mengenai Hawalah akan dikupas tuntas dalam pembahasan berikut ini.









HAWALAH
A.  PENGERTIAN

Pengertian Hawalah secara etimologi berarti pengalihan, pemindahan. Maksudnya adalah mengalihkan tanggung jawab membayar hutang dari seseorang kepada orang lain. Misalnya bakir mempunyai hutang, semestinya dialah yang membayar hutang teresebut tetapi kewajibann membayar hutang itu dialihkan kepada umar.

B.   PENDAPAT ULAMA

Sedangkan secara terminologi menurut Hanafiyah yang dimaksud dengan hawalah adalah pemindahan kewajiban membayar hutang dari orang yang berhutang (al muhil) kepada orang yang berhutang lainnya (al-muhal’alaih). Menurut Malikiyah,Syafi’iyah,Hanabilah, hawalah adalah pengalihan hak untuk menuntut pembayaran hutang dari satu pihak kepada pihak lain Jadi dapat disimpulkan bahwa hawalah adalah akad pengalihan hutang dari pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib menanggung.


C.   DASAR HUKUM HAWALAH
a.    Al Hadist
ﻣَﻄْﻞُ اﻟْﻐَﻨِﻲﱢ ﻇُﻠْﻢٌ، ﻓَﺈِذَا أُﺗْﺒِﻊَ أَﺣَﺪُآُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻠِﻲﱟ ﻓَﻠْﻴَﺘﱠﺒِﻊ
Artinya : Menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang diantara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah (HR. Bukhari).
b.    Ijma Ulama
Para ulama sepakat (ijma) atas kebolehan akad hawalah atau hiwalah Menurut pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az-Zahiriyah, hukumnya wajib bagi muhal menerima hiwalah  berdasarkan perintah pada hadits tersebut.Sedangkan menurut jumhur ulama perintah pada hadist tersebut untuk menerima hiwalah hukumnya sunnah, bukan wajib, sebab mungkin saja muhal’alaih sulit ekonomi atau sulit membayar hutang.
 Kaidah Fiqih
 .اَﻷَﺻْﻞُ ﻓِﻲ اﻟْﻤُﻌَﺎﻣَﻼَتِ اْﻹِﺑَﺎﺣَﺔُ إِﻻﱠ أَنْ ﻳَﺪُلﱠ دَﻟِﻴْﻞٌ ﻋَﻠَﻰ ﺗَﺤْﺮِﻳْﻤِﻬَﺎ
Artinya: Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
 اَﻟﻀﱠﺮَرُ ﻳُﺰَالُ
Artinya : Bahaya (beban berat) harus dihilangkan.

D.  RUKUN DAN SYARAT-SYARAT DALAM HAWALAH


Menurut mazhab Hanafiyah, rukun  hawalah yaitu  ijab (pernyataan melakukan hawalah) dari pihak pertama, sedangkan rukun yang kedua kabul (pernyataan menerima hawalah) dari pihak kedua dan ketiga  Sedangkan menurut jumhur ulama yang terdiri dari mazhab Malikiyah, Hanbaliyah, dan Syafi’iyah, rukun hawalah ada enam, yaitu :
1) Pihak pertama adalah pihak yang berhutang (muhil).
2) Pihak kedua adalah pihak yang berpiutang disebut sebagai (muhal).
3) Pihak ketiga adalah pihak yang berhutang dan berkewajiban membayar hutang kepada
muhil disebut sebagai (muhal‘alaih).
4) Hutang muhil kepada muhal (muhal bih 1).
5) Hutang muhal’alaih kepada muhil (muhal bih 2)
6) Ijab qabul (sighat )
Syarat bagi pihak pertama (muhil) :
1)   Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan berakal. Hawalah tidak sah jika dilakukan oleh anak-anak meskipun dia sudah mengerti (mumayiz), ataupun dilakukan oleh orang yang gila.
2)    Ada pernyataan persetujuan (ridha) dari muhil.
Syarat bagi pihak kedua (muhal)
1)   Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan berakal, sebagaimana pihak pertama (muhil).
2)    Mazhab Hanafiyah, dan sebagian besar mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah mensyaratkan ada persetujuan pihak kedua (muhal) terhadap pihak pertama (muhil) yang melakukan hawalah.
Mazhab Hambaliyah tidak menetapkan persyaratan itu kepada pihak kedua (muhal) karena mereka berpendapat bahwa kalimat perintah pada hadist tersebut menunjukkan bahwa hawalah itu wajib, sehingga tidak diperlukan persetujuan dari pihak kedua (muhal) dan pihak ketiga (muhal‘alaih).
E.   JENIS HAWALAH
Hawalah dapat di bagi menjadi beberapa jenis yang diantaranya yaitu:
1)   Hawalah haqq (pemindahan hak) terjadi apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menuntut uang atau dengan kata lain pemindahan piutang.
2)   Hawalah dayn (pemindahan hutang) terjadi jika yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar hutang.
3)   Hawalah muqayyadah (pemindahan bersyarat) adalah pemindahan sebagai ganti dari pembayaran hutang pihak pertama (muhil) kepada pihak kedua (muhal).
4)   Hawalah mutlaqah (pemindahan mutlak) adalah pemindahan hutang yang tidak ditegaskan sebagai ganti pembayaran hutang pihak pertama (muhil) kepada pihak kedua (muhal).


F.    UNSUR KERELAAN DALAM HAWALAH


                     11     Kerelaan Muhal
Mayoritas ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah berpendapat bahwa kerelaan muhal (orang yang menerima pindahan) adalah hal yang wajib dalam hawalah karena hutang yang dipindahkan adalah haknya, maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu orang kepada yang lainnya tanpa kerelaannya.
Hanabilah berpendapat bahwa jika muhal‘alaih (orang yang berhutang kepada muhil) itu mampu membayar tanpa menunda-nunda dan tidak membangkang, muhal (orang yang menerima pindahan) wajib menerima pemindahan itu dan tidak diisyaratkan adanya kerelaan darinya. Mereka mendasarkan hal ini kepada hadist yang telah disbutkan di atas.
Alasan mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajiban muhal (orang yang menerima pindahan) untuk menerima hawalah adalah karena muhal‘alaih kondisinya berbeda-beda ada yang mudah membayar dan ada yang menunda-nunda pembayaran. Dengan demikian, jika muhal‘alaih mudah dan cepat membayar hutangnya, dapat dikatakan bahwa muhal wajib menerima hawalah. Namun jika muhal‘alaih termasuk orang yang sulit dan suka menunda-nunda memayar hutangnya, semua ulama berpendapat muhal tidak wajib menerima hawalah.
                     12     Kerelaan Muhal‘Alaih
Mayoritas ulama Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak ada syarat kerelaan muhal‘alaih, ini berdasarkan hadist yang artinya: jikalah seorang diantara kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, ikutilah (terimalah). (HR.Bukhari dan Muslim). Di samping itu, hak ada pada muhil dan ia boleh menerimanya sendiri atau mewakilkan kepada orang lain.
Hanafiah berpendapat bahwa diisyaratkan adanya kerelaan muhal‘alaih karena setiap orang mempunyai sikap yang berbeda dalam menyelesaikan urusan hutang piutangnya, maka ia tidak wajib dengan sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya.Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal‘alaih. Dan muhal‘alaih akan membayar hutangnya dengan jumlah yang sama kepada siapa saja dari keduanya.
PENERAPAN HAWALAH
Dibawah ini contoh dari penerapan hawalah dalam kehidupan sehari-hari :
A memberikan hutang kepada B sebanyah Rp. 10.000
B memberikan hutang keppada C sebanyak Rp 10.000
Sudah berkali-kali A menagih kepada B tidak berhasil, tetapi A mengetahui bahwa C berhutang kepada B sebanyak hutang kepada A. Kemudian karena dipandang bahwa A akan lebih mudah berhasil menagih C, maka A minta kepada B untuk memindahkan haknya kepada C. Jika hal ini dapat diterima oleh B maka ia bebas dari tanggungan kepad A dan tidak menghutang ikepada C lagi, kemudian A hanya berhadapan dengan C.

G.  BERAKHIRNYA HAWALAH

Akad hawalah akan berakhir apabila terdapat hal-hal sebagai berikut :
a)    Salah satu pihak yang melakukan fasakh (membatalkan) akad hawalah.
b)   Pihak ketiga (muhal‘alaih) melunasi hutang yang dialihkan itu pada pihak kedua (muhal).
c)     Apabila pihak kedua (muhal) wafat, sedangkan pihak ketiga (muhal‘alaih) merupakan ahli waris yang mewarisi harta pihak kedua (muhal).
d)   Pihak kedua (muhal) menghibahkan atau menyedekahkan harta yang merupakan hutang dalam akad hawalah itu kepada pihak ketiga (muhal‘alaih).
e)    Pihak kedua (muhal) membebaskan pihak ketiga (muhal‘alaih) dari kewajibannya untuk membayar hutang yang dialihkan itu.
f)    Hak pihak kedua (muhal) menurut mazhab Hanafi, tidak dapat dipenuhi karena  pihak ketiga (muhal‘alaih) mengalami muflis (bangkrut) atau wafat dalam keadaan  muflis atau dalam keadaan tidak ada bukti otentik tentang akad  hawalah pihak ketiga (muhal‘alaih) mengingkari itu.

Kesimpulan
Jumhur ulama berpendapat bahwa pemindahan hutang itu merupakan kebalikan dari pertangungan hutang dalam hal, apabila orang yang menerima pertangungan hutang (muhal alaih) itu mengalami pailit, maka muhtal tidak boleh menagih kepada orang yang memindahkan hutang (al-muhil).adapun dalam pelaksanaan hawalah harus ada unsur kerelaan .Mayoritas ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah berpendapat bahwa kerelaan muhal (orang yang menerima pindahan) adalah hal yang wajib dalam hawalah karena hutang yang dipindahkan adalah haknya, maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu orang kepada yang lainnya tanpa kerelaannya. Demikian ini karena penyelesaian tanggungan itu berbeda-beda, bisa mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda.

DAFTAR PUSTAKA

·      Ath Thayyar, Abdullah bin Muhammad, 2004, Ensiklopedi Fiqh Mu’amalah Dalam Pandangan 4 Madzhab, Yogyakarta: Maktabah Al Hanif.
·      Sabiq, Sayyid, 1987, Fikih Sunnah, Bandung : PT Al-ma'rif.
·      Suhendi, Hendi, 2008, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
·      Rusdy,ibnu, 1990, Bidayatul mujtahid, semarang : Asy-Syifa.
·      Rifai, mohamad, 1978, fiqih islam lengkap, semarang : PT. Karya Toha Putra.
·      As”ad, Aliy, 1979, fathul muin, Kudus : menara kudus. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar