PENDAHULUAN
Bila menganalisis berbagai perintah agama islam dengan seksama, maka dengan
mudah kita dapat memperoleh prinsip yang berkaitan dengan piutang konsumtif.
Adapun prinsip piutang konsumtif adalah Prinsip kemurnian, perjanjian,
pembayaran dan bantuan yang timbul dari kenyataan bahwa mengambil suatu kredit
tanpa suatu sebab yang shahih, ditolak oleh Rasulullah yang diriwayatkan
berlindung dari utang maupun dosa. Aisyah berkata rasulullah SAW biasa berdoa
dengan mengucapkan kata-kata “Yaa Allah, aku berlindung padamu dari dosa dan
berutang”. Seseorang bertanya padanya “Ya Rasulullah, mengapa begitu sering
engkau berlindung dari berutang?” Jawabnya “Bila orang berutang, dia berdusta,
berbohong dan berjanji. Tetapi memungkiri janjinya” (HR. Bukhari)
Sedangkan dalam hawalah ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari
satu orang kepada orang lain. Dan pengalihan penagihan hutang ini dibenarkan
oleh syariah dan telah dipraktekkan oleh kaum Muslimin dari zaman Nabi Muhammad
SAW sampai sekarang. Dalam al-Qur’an kaum Muslimin diperintahkan untuk saling
tolong menolong satu sama lain. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Firman Allah
(QS.Al-Maidah 2) Akad hawalah merupakan suatu bentuk saling tolong menolong
yang merupakan manifestasi dari semangat ayat tersebut Kemudian berdasarkan
hadist Barangsiapa yang mempunyai hutang namun dia mempunyaipiutang pada orang
lain yang mampu,kemudian dia memindahkan kewajiban membayar hutangnya
kepadaorang lain yang mampu itu, maka orang yang mampu tersebut wajib menerima kewajiban
itu. Nabi saw bersabda “Penundaan orang yang mampu (melunasi hutang) itu adalah
zhalim, dan apabila seorang di antara kamu menyerahkan (kewajiban pembayaran
hutangnya) kepada orang kaya, maka terimalah.Selanjutnya pembahasan mengenai
Hawalah akan dikupas tuntas dalam pembahasan berikut ini.
HAWALAH
A. PENGERTIAN
Pengertian Hawalah secara etimologi
berarti pengalihan, pemindahan. Maksudnya adalah mengalihkan tanggung jawab
membayar hutang dari seseorang kepada orang lain. Misalnya bakir mempunyai
hutang, semestinya dialah yang membayar hutang teresebut tetapi kewajibann
membayar hutang itu dialihkan kepada umar.
B.
PENDAPAT ULAMA
Sedangkan secara terminologi menurut
Hanafiyah yang dimaksud dengan hawalah adalah pemindahan kewajiban membayar
hutang dari orang yang berhutang (al muhil) kepada orang yang berhutang lainnya
(al-muhal’alaih). Menurut Malikiyah,Syafi’iyah,Hanabilah, hawalah adalah
pengalihan hak untuk menuntut pembayaran hutang dari satu pihak kepada pihak
lain Jadi dapat disimpulkan bahwa hawalah adalah akad pengalihan hutang dari
pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib menanggung.
C.
DASAR HUKUM HAWALAH
a.
Al Hadist
ﻣَﻄْﻞُ
اﻟْﻐَﻨِﻲﱢ ﻇُﻠْﻢٌ، ﻓَﺈِذَا أُﺗْﺒِﻊَ أَﺣَﺪُآُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻠِﻲﱟ ﻓَﻠْﻴَﺘﱠﺒِﻊ
Artinya : Menunda-nunda pembayaran
hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika
seseorang diantara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan)
kepada pihak yang mampu, terimalah (HR. Bukhari).
b.
Ijma Ulama
Para ulama sepakat (ijma) atas
kebolehan akad hawalah atau hiwalah Menurut pengikut mazhab Hambali, Ibnu
Jarir, Abu Tsur dan Az-Zahiriyah, hukumnya wajib bagi muhal menerima
hiwalah berdasarkan perintah pada hadits
tersebut.Sedangkan menurut jumhur ulama perintah pada hadist tersebut untuk
menerima hiwalah hukumnya sunnah, bukan wajib, sebab mungkin saja muhal’alaih
sulit ekonomi atau sulit membayar hutang.
Kaidah Fiqih
.اَﻷَﺻْﻞُ ﻓِﻲ
اﻟْﻤُﻌَﺎﻣَﻼَتِ اْﻹِﺑَﺎﺣَﺔُ إِﻻﱠ أَنْ ﻳَﺪُلﱠ دَﻟِﻴْﻞٌ ﻋَﻠَﻰ ﺗَﺤْﺮِﻳْﻤِﻬَﺎ
Artinya:
Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.
اَﻟﻀﱠﺮَرُ
ﻳُﺰَالُ
Artinya :
Bahaya (beban berat) harus dihilangkan.
D. RUKUN DAN
SYARAT-SYARAT DALAM HAWALAH
Menurut mazhab
Hanafiyah, rukun hawalah yaitu ijab (pernyataan melakukan hawalah) dari
pihak pertama, sedangkan rukun yang kedua kabul (pernyataan menerima hawalah)
dari pihak kedua dan ketiga Sedangkan
menurut jumhur ulama yang terdiri dari mazhab Malikiyah, Hanbaliyah, dan
Syafi’iyah, rukun hawalah ada enam, yaitu :
1) Pihak
pertama adalah pihak yang berhutang (muhil).
2) Pihak kedua
adalah pihak yang berpiutang disebut sebagai (muhal).
3) Pihak ketiga
adalah pihak yang berhutang dan berkewajiban membayar hutang kepada
muhil disebut
sebagai (muhal‘alaih).
4) Hutang muhil
kepada muhal (muhal bih 1).
5) Hutang
muhal’alaih kepada muhil (muhal bih 2)
6) Ijab qabul
(sighat )
Syarat bagi
pihak pertama (muhil) :
1)
Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu
baligh dan berakal. Hawalah tidak sah jika dilakukan oleh anak-anak meskipun
dia sudah mengerti (mumayiz), ataupun dilakukan oleh orang yang gila.
2)
Ada pernyataan persetujuan
(ridha) dari muhil.
Syarat bagi pihak kedua (muhal)
1)
Cakap dalam melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu
baligh dan berakal, sebagaimana pihak pertama (muhil).
2)
Mazhab Hanafiyah, dan
sebagian besar mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah mensyaratkan ada persetujuan
pihak kedua (muhal) terhadap pihak pertama (muhil) yang melakukan hawalah.
Mazhab Hambaliyah tidak menetapkan persyaratan itu kepada pihak
kedua (muhal) karena mereka berpendapat bahwa kalimat perintah pada hadist
tersebut menunjukkan bahwa hawalah itu wajib, sehingga tidak diperlukan
persetujuan dari pihak kedua (muhal) dan pihak ketiga (muhal‘alaih).
E.
JENIS HAWALAH
Hawalah dapat di bagi menjadi
beberapa jenis yang diantaranya yaitu:
1)
Hawalah haqq (pemindahan hak) terjadi apabila yang dipindahkan itu
merupakan hak menuntut uang atau dengan kata lain pemindahan piutang.
2)
Hawalah dayn (pemindahan hutang) terjadi jika yang dipindahkan itu
kewajiban untuk membayar hutang.
3)
Hawalah muqayyadah (pemindahan bersyarat) adalah pemindahan sebagai
ganti dari pembayaran hutang pihak pertama (muhil) kepada pihak kedua (muhal).
4)
Hawalah mutlaqah (pemindahan mutlak) adalah pemindahan hutang yang
tidak ditegaskan sebagai ganti pembayaran hutang pihak pertama (muhil) kepada
pihak kedua (muhal).
F.
UNSUR KERELAAN DALAM
HAWALAH
11 Kerelaan Muhal
Mayoritas ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah
berpendapat bahwa kerelaan muhal (orang yang menerima pindahan) adalah hal yang
wajib dalam hawalah karena hutang yang dipindahkan adalah haknya, maka tidak
dapat dipindahkan dari tanggungan satu orang kepada yang lainnya tanpa
kerelaannya.
Hanabilah berpendapat bahwa jika muhal‘alaih (orang
yang berhutang kepada muhil) itu mampu membayar tanpa menunda-nunda dan tidak
membangkang, muhal (orang yang menerima pindahan) wajib menerima pemindahan itu
dan tidak diisyaratkan adanya kerelaan darinya. Mereka mendasarkan hal ini
kepada hadist yang telah disbutkan di atas.
Alasan mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajiban
muhal (orang yang menerima pindahan) untuk menerima hawalah adalah karena muhal‘alaih
kondisinya berbeda-beda ada yang mudah membayar dan ada yang menunda-nunda
pembayaran. Dengan demikian, jika muhal‘alaih mudah dan cepat membayar
hutangnya, dapat dikatakan bahwa muhal wajib menerima hawalah. Namun jika muhal‘alaih
termasuk orang yang sulit dan suka menunda-nunda memayar hutangnya, semua ulama
berpendapat muhal tidak wajib menerima hawalah.
12 Kerelaan Muhal‘Alaih
Mayoritas ulama Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah
berpendapat bahwa tidak ada syarat kerelaan muhal‘alaih, ini berdasarkan hadist
yang artinya: jikalah seorang diantara
kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, ikutilah (terimalah). (HR.Bukhari dan Muslim). Di samping
itu, hak ada pada muhil dan ia boleh menerimanya sendiri atau mewakilkan kepada
orang lain.
Hanafiah berpendapat bahwa diisyaratkan adanya kerelaan
muhal‘alaih karena setiap orang mempunyai sikap yang berbeda dalam
menyelesaikan urusan hutang piutangnya, maka ia tidak wajib dengan sesuatu yang
bukan menjadi kewajibannya.Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak disyaratkan
adanya kerelaan muhal‘alaih. Dan muhal‘alaih akan membayar hutangnya dengan
jumlah yang sama kepada siapa saja dari keduanya.
PENERAPAN HAWALAH
Dibawah ini contoh dari penerapan hawalah dalam kehidupan
sehari-hari :
A memberikan hutang kepada B sebanyah Rp. 10.000
B memberikan hutang keppada C sebanyak Rp 10.000
Sudah berkali-kali A menagih kepada B tidak berhasil, tetapi A
mengetahui bahwa C berhutang kepada B sebanyak hutang kepada A. Kemudian karena
dipandang bahwa A akan lebih mudah berhasil menagih C, maka A minta kepada B
untuk memindahkan haknya kepada C. Jika hal ini dapat diterima oleh B maka ia
bebas dari tanggungan kepad A dan tidak menghutang ikepada C lagi, kemudian A
hanya berhadapan dengan C.
G. BERAKHIRNYA
HAWALAH
Akad hawalah akan berakhir apabila terdapat hal-hal sebagai berikut
:
a)
Salah satu pihak yang melakukan fasakh (membatalkan) akad hawalah.
b)
Pihak ketiga (muhal‘alaih) melunasi hutang yang dialihkan itu pada
pihak kedua (muhal).
c)
Apabila pihak kedua (muhal) wafat,
sedangkan pihak ketiga (muhal‘alaih) merupakan ahli waris yang mewarisi harta
pihak kedua (muhal).
d)
Pihak kedua (muhal) menghibahkan atau menyedekahkan harta yang
merupakan hutang dalam akad hawalah itu kepada pihak ketiga (muhal‘alaih).
e)
Pihak kedua (muhal) membebaskan pihak ketiga (muhal‘alaih) dari
kewajibannya untuk membayar hutang yang dialihkan itu.
f)
Hak pihak kedua (muhal) menurut mazhab Hanafi, tidak dapat dipenuhi
karena pihak ketiga (muhal‘alaih)
mengalami muflis (bangkrut) atau wafat dalam keadaan muflis atau dalam keadaan tidak ada bukti
otentik tentang akad hawalah pihak ketiga
(muhal‘alaih) mengingkari itu.
Kesimpulan
Jumhur ulama berpendapat bahwa
pemindahan hutang itu merupakan kebalikan dari pertangungan hutang dalam hal,
apabila orang yang menerima pertangungan hutang (muhal alaih) itu mengalami
pailit, maka muhtal tidak boleh menagih kepada orang yang memindahkan hutang
(al-muhil).adapun dalam pelaksanaan hawalah harus ada unsur kerelaan .Mayoritas ulama
Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah berpendapat bahwa kerelaan muhal (orang yang
menerima pindahan) adalah hal yang wajib dalam hawalah karena hutang yang
dipindahkan adalah haknya, maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu
orang kepada yang lainnya tanpa kerelaannya. Demikian ini karena penyelesaian
tanggungan itu berbeda-beda, bisa mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda.
DAFTAR PUSTAKA
· Ath Thayyar, Abdullah bin Muhammad,
2004, Ensiklopedi Fiqh Mu’amalah Dalam
Pandangan 4 Madzhab, Yogyakarta: Maktabah Al Hanif.
· Sabiq, Sayyid, 1987, Fikih Sunnah,
Bandung : PT Al-ma'rif.
· Suhendi, Hendi, 2008, Fiqh
Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
· Rusdy,ibnu, 1990, Bidayatul
mujtahid, semarang : Asy-Syifa.
· Rifai, mohamad, 1978, fiqih islam
lengkap, semarang : PT. Karya Toha Putra.
· As”ad, Aliy, 1979, fathul muin,
Kudus : menara kudus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar